Cerpen: Mimpi Buruk Itu

February 08, 2013


Pagi hari di bulan Februari 2013, tepat pukul 5, badan ini sudah tahu bahwa ini saaatnya terbangun. Aku terbangun sebelum alarm menyebalkan itu berbunyi. Sungguh lucu, alarm yang aku pasang itu menggunakan lagu yang tadinya aku sukai, mungkin aku akan terbangun dengan semangat setelah mendengar lagu ini, pikirku. Namun, hal tersebut hanya bertahan beberapa hari, dan aku mulai membencinya, mematikan bunyinya sebelum detik kedua.

Aku terbangun secara otak, ya hanya otak ini saja yang tersadar dari mimpi. Dengan mata masih terpejam, setelah meraba-raba sekitar untuk mematikan alarm, mataku enggan terbuka. Selalu saja begini, ujarku dalam hati, telingaku tajam mendengar suara menebak-nebak, apakah di luar hujan? Lalu kembali berpikir, masih dengan terpejam, mimpi yang menyebalkan.

Ya, sepertinya kali ini aku terbangun bukan hanya karena badanku sudah terbiasa untuk itu, tetapi juga karena otakku lelah oleh mimpi buruk. Badan ini, perasaan ini tidak enak. Sebegitu besarnya kah dampak sebuah mimpi buruk?

Ah, aku butuh seseorang untuk berbagi perasaan buruk ini, pikirku. Lalu untuk pertama kalinya di pagi itu, kubuka sebelah mataku, mengambil telpon genggamku dalam satu genggaman, masih dalam kondisi tidak menyala. Menghela napas. Aku lupa, semua sudah berakhir, tempatku menceritakan segalanya, dari mimpi indah hingga mimpi buruk, sudah berakhir hubunganku dengan pria itu. 

Hubungan kami baru saja berakhir, ya, semalam berakhir tidak baik, kami bertengkar besar. Kupandangi layar gelap telpon genggamku yang tidak aktif itu, lalu kuraih bingkai foto di samping tempat tidurku, pria biasa, ujarku. Pria biasa dengan wajah biasa, hanya karena dia semampai dan dia seorang Arsitek. Tidak, aku bukan seseorang yang memperhatikan dan memperhitungkan pekerjaan seorang pria. Selama dia bekerja, aku tak masalah apapun pekerjaannya. Tetapi Arsitek, sepertinya memiliki daya tarik lebih. Seniman yang rumit, seni dan perhitungan teknik, merancang bangunan berbagai bentuk dan ukuran, menciptakan. Terdengar hebat kan? Ya, dia memang hebat, lulus tepat waktu dan segera mendapatkan pekerjaan, membuat kagum.

Aku bangkit, duduk, bersiap menekan tombol untuk menghidupkan telepon genggamku. Bolehkah? Bisakah? Selama setahun lebih bersamanya, hanya dia yang membuatku nyaman untuk bercerita, tidak kepada rekan kerjaku, tidak pada teman sekolahku. Sahabat? Tidak ada, dia sudah tiada.

Beberapa orang mungkin punya sahabat dua bahkan lebih, bergerombol, membentuk kelompok berjalan bersama-sama kemana pun bersama. Namun, aku yakin dalam suatu kelompok yang terdiri dari banyak orang itu, terdapat juga kelompok kecil terdiri atas dua atau tiga kawan yang lebih dekat dibanding yang lainnya, yang kemudian membentuk kelompok lebih kecil lagi, hanya berdua. Itu hanya dugaanku.

Sahabatku yang sudah mendiang itu, bertolak belakang denganku. Kalau diingat-ingat, dialah yang selama ini bertutur kata, berbagi cerita, menuangkan keluh-kesahnya. Aku terdiam, mengangguk, sedikit berkomentar atau memintanya melanjutkan cerita ketika Ia mendadak terdiam, teralihkan oleh sesuatu. Selalu dan selalu begitu, terdengar timpang? Tidak bagiku, dengan kondisi seperti itu aku merasa nyaman. Ada kalanya aku bercerita, hanya sedikit dibagian awal, lalu Ia akan terpancing untuk menceritakan hal yan mungkin sedikit berhubungan dengan ceritaku. Biasanya begitu. Tapi tak apa, setidaknya ada cerita yang keluar dari mulutku, tidak lagi dari tanganku. Sekarang, tak akan ada lagi kejadian serupa, rindu? Ya, terkadang ada rasa rindu akan masa-masa itu, namun hanya menghampiri sesaat, dan waktu berlalu akibat kesibukanku.

Kupandangi onggokan botol air mineral di sudut kamarku, tepat di bawah jendela, lalu deretan baju di lemari pakaianku yang terbuka. Pandangan itu hanya sekedar pandangan karena pikiranku kosong, masih akibat mimpi buruk itu kurasa.

Aku pun berjalan menuju kamar mandi, sedikit air mungkin akan menghapus sisa mimpi buruk itu, pikirku. Sesaat kurasakan desiran angin pagi buta, sebelum akhirnya kucuran air dingin menghujani rambutku.
Relaks, relaks, rasakan setiap tetesan airnya, kosongkan pikiran, ucapku dalam hati. Sialnya hal tersebut hanya berlangsung sesaat, endapan mimpi tak enak itu masih mengantui pikiranku, jantungku berdegup tak tenang saat aku terduduk di tempat tidurku dalam balutan handuk. Makin tak tenang saat kukeringkan rambutku dengan hair drayer yang baru saja kubeli tiga hari lalu.

Kuletakan hair drayer itu diatas meja yang penuh dengan aneka kosmetik dan perawatan kulitku. Terbias cahaya matahari pagi yang mengintip di balik tirai jendela, sang fajar sudah bangun. Pikiranku teralihkan sesaat, lalu kembali pada bekas-bekas mimpi tak enak itu. Harus, pikirku, aku harus bercerita pada seseorang.

Aku teringat ucapan ibuku dulu, saat usiaku tak lebih dari sepuluh tahun, saat hubunganku dengannya masih baik.
Mimpi buruk akan segera terlupakan, tepat setelah kau menceritakannya pada orang lain.
Itu adalah ucapannya saat aku terbangun terisak karena mimpi buruk, yang kini aku lupa mengenai apa. Sepertinya teori itu benar adanya.

Haruskah aku menelpon ibuku untuk menceritakan mimpiku barusan?
Tidak, hal tersebut akan jauh lebih buruk dari mimpiku, jauh lebih buruk. Segera setelah masuk Perguruan Tinggi yang biayanya kutanggung sendiri, hubungan kami tak pernah baik. Satu kalimat yang kuucap selalu salah, begitu pula satu kalimat yang ibuku ucapkan, selalu terdengar salah. Kini sudah lebih setahun aku tidak bertemu dengannya, hanya mengucapkan selamat tahun baru, selamat ulang tahun melalui telpon, dan biasanya kuhindari pembicaraan lebih dari lima belas menit, tidak akan baik.


Gelisah, kuteguk botol air mineral hingga setengahnya, kuambil seonggok roti di meja kecil disamping lemari, yang entah kapan kubeli. Kulihat sedikit jamur di sudut roti terluar, hanya sedikit berjamur, pikirku. Bagian yang berjamur kusingkirkan, lalu kumakan sisanya. Remahan roti yang tak lembut lagi terasa dalam mulutku, rasa manisnya masih sama seperti roti baru, hanya lebih kasar, itu saja. Kukunya perlahan, pikiranku kosong, kuhitung jumlah kunyahan roti itu, satu, dua, sekitar empat puluh kunyahan, kurasa. Sisa air mineral pada botol sedang itu kuhabiskan dalam tiga teguk, kuhempaskan badanku yang masih berbalut handuk ke tempat tidur.

Perasaan apa ini, sungguh tak enak, jantungku berdebar tak beraturan, tengkukku merinding terasa dingin. Segera kukenakan pakaian hangat, sweater rajutan warna kelabu, dan celana panjang hitam berpotongan lurus, semua kukenakan sambil tergeletak ditempat tidur, terpejam.

Sudah kuputuskan, akan kutelpon, aku harus menceritakan mimpi ini, agar aku lupa. Segera kusambar telepon genggamku, lalu berpikir, harus dimulai dari mana?
Apakah "hei, sudah bangun? Dengarkan.."
Tidak itu terkesan tidak terjadi apa-apa antara aku dan dia semalam.
Ataukah "halo, bisa kita bicara?"
Hmm, terdengar terlalu serius dan tidak ramah, bisa jadi Ia akan menutup telponnya sebelum aku lanjut berbicara. Mungkin aku harus langsung mengatakan semuanya tanpa henti dalam satu tarikan napas sebelum Ia berkesempatan menutup telponnya. Tidak, kurasa tidak, Ia bisa saja menutupnya langsung tanpa mendengarkan apapun. 

Aku terdiam menatap langit-langit kamarku, kuangkat tanganku menutupi jejak lampu, seperti gerhana matahari, kulakukan berulang kali seperti anak kecil. Lalu, kubulatkan tekat, aku bangkit duduk bersila di lantai, disamping tempat tidurku, bersandar, kuraih telepon genggam dengan cepat dan kuhidupkan. Butuh waktu beberapa detik untuk sampai telepon genggamku benar-benar menyala. 

Sambil menunggu, aku berpikir sejenak, meyakinkan diri, menelpon pria itu, pacarku, bukan, mantan pacarku, mengingat ribut besar kami semalam, aku butuh dia, dia pasti akan mendengarkan kisah mimpi burukku dan berkata "semua akan baik-baik saja" dengan suara lembut. Aku menganggukkan kepalaku, lalu saat telepon genggamku telah menyala sempurna,
*kriiing*
Ya aku menggunakan nada telepon kuno untuk nada panggilan, aku suka bunyinya, klasik, sederhana.
Tertera nama pria itu, pacar atau mantan pacar sama saja, yah yang terpenting dia menghubungiku. Tersenyum tipis aku beranjak duduk di atas tempat tidur sambil menekan tombol bicara.

Bukan suaranya, aneh pikirku, suara wanita, terisak, wanita paruh baya. Lalu,"Dia, dia tak ada, dia sudah tak ada" kata suara di ujung telpon itu. Tak sadar telpon genggamku terjatuh di tempat tidur, terbanting terpental lalu terbalik terlungkup. Tak perlu mendengar omongan wanita itu, aku pun sudah tahu, mimpi burukku jadi kenyataan, pria yang selama ini hadir di sisiku, pria yang semalam kuhindari karena emosi, yang kusanggah kasar ucapannya, sudah tak ada.

Dalam mimpiku, Ia berlari-lari memanggil-manggil namaku, Tepat saat jarak kami tak lebih dari dua meter, kereta api melesat melewati perbatasan antara kami berdua. Entah di mana kami berada, tempat yang asing namun familiar, aneh, pikirku. Kemudian saat Ia makin mendekat lagi, sebuah motor yang luar biasa besar dan berisik, aku benci bunyi berisik motor itu, hampir menyentuhnya, aku terpekik kaget. Ia berhasil menghindar, namun entah kenapa, lingkungan tempat kami berada berubah dan dalam sekejap mata Ia menghilang, terperosok jatuh dalam jurang dalam. Aku memanggil namanya, berusaha meraihnya, tak bisa terlalu jauh, dia terhempas di atas kerikil dan bebatuan, mengerikan. Ini benar-benar mengerikan, kata orang mimpi buruk berarti sesuatu yang baik akan datang menghampiri orang yang kita impikan itu, tetapi tidak kali ini. Kini, mimpi itu tak lagi terasa mengerikan, karena kenyataannya, kenyataan yang baru saja terdengar inii jauh lebih mengerikan.

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts